Selamat Datang

Selamat datang dan selamat menikmati hidangan otak Anda. Blog ini khusus dirancang untuk Anda yang siap melahap dan mencari gizi-gizi buku yang bermakna.

Senin, 25 Juni 2007

Menjadi Cerpenis dalam Hitungan Jam

Judul : 24 Jam Jagoan Menulis Cerpen
Penulis : Donatus A. Nugroho
Penerbit : Cinta, Bandung
Cetakan I : Agustus 2006
Tebal : 160 Halaman
Resentator  : Rahmat Hidayat Nasution


Menulis cerpen bagi orang yang belum terbiasa terkadang merupakan hal yang teramat berat dilakukan. Bahkan sebagian orang masih beranggapan bahwa dunia tulis-menulis cerpen adalah dunianya para sastrawan, para pujangga, dunianya orang yang rajin berhayal, dan sebagainya. Namun, sebenarnya siapa pun bisa menjadi cerpenis. Menulis cerpen dapat dilakukan oleh setiap orang dari berbagai kalangan. Bahkan, sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa banyak para cerpenis yang sukses bukan berasal dari fakultas sastra.

Buku ini memberikan motivasi dan petunjuk-petunjuk mengawali menulis cerpen hingga cara mempublikasikannya di media masa. Ada beberapa langkah inti yang ditawarkan sebelum menulis cerpen. Pertama, komitmen. Ya, seorang yang ingin menjadi cerpenis harus memiliki niat yang kuat untuk menjadi cerpenis sukses. Tentu saja komitmen itu memiliki konsekuensi. Harus fokus dan rela meluangkan waktu yang mungkin akan mengurangi kesenangan-kesenangan yang lain. Kedua, rajinlah membaca cerpen yang ada di koran atau majalah. Lupakanlah teori-teori ruwet tentang apa dan bagaimana cara menulis cerpen. Karena dengan rajinnya membaca cerpen karya orang lain yang telah dimuat akan memberikan gambaran apa saja syarat dan langkah membuat cerpen. Intinya, jadilah lebih dahulu menjadi pembaca cerpen yang baik. Ketiga, tentukan arah. Setelah menjadi pembaca cerpen yang baik, tentunya memiliki kecenderungan terhadap salah satu jenis cerpen, karena banyak pilihan mengenai cerpen. Ada cerpen romantis, cerpen komedi, cerpen misteri dan cerpen fiksi ilimiah. Semua bebas untuk dipilih. Jika telah memiliki ‘kontak batin’ dengan salah satu jenis, cobalah untuk jujur dan serius menekuni jenis cerpen yang menjadi pilihan.

Jika semua langkah ini sudah dimiliki cobalah untuk menulis cerpen, dan jangan lupa tentukan juga jam kerja untuk menyelesaikan satu cerpen. Untuk pertama kali, cobalah gunakan waktu 10 jam dalam hitungan dua hari untuk menyelesaikan satu cerpen. Misalnya hari jumat depan akan menulis cerpen pukul 7 malam dan berakhir pukul 12 malam dan keesokan harinya menulis lagi selama 5 jam. Ingat, tetaplah berkomitmen untuk menjadi seorang cerpenis sukses. Dengan kerutinan dalam membuat cerpen tidak mustahil jika suatu saat kita dapat menulis satu cerpen dalam tempo 2-3 jam. Bukankah pisau semakin rajin diasah semakin tajam? Demikianlah halnya dengan mangasah diri menjadi cerpenis sukses. Bakat hanya memiliki nilai 1 % selebihnya adalah kontiniutas kita dalam belajar menulis cerpen.

Setelah selesai menulis, apakah langsung mengirimnya ke surat kabar atau tabloid? Menurut penulis buku ini, Donatus A. Nugroho, jangan terburu-buru untuk mengirim, harus sabar sedikit. Seorang cerpenis yang ingin naskahnya dimuat harus bisa menyiasati redaksi. Karena bagian ini penentu dimuat atau tidaknya naskah cerpen yang dikirim. Karena itu, Donatus memberikan ‘bocoran’ untuk bisa ‘merampas’ perhatian redaksi. Yaitu, naskah yang dikirim harus memenuhi kriteria yang diinginkan redaksi; Naskah yang dikirim harus benar-benar sudah ‘matang’ isi dan tata bahasanya; Naskah yang dikirim harus dalam bentuk print-out; Curi perhatiannya dengan judul dan awal cerpen (lead) cerpen yang menteror; Perhatikan misi dan visi media yang bersangkutan. Misalnya majalah Hai adalah bacaan remaja yang usianya 13-17 tahun tahun. Jadi, percuma kalau mengirimkan cerpen bagus yang tokoh utamanya mahasiswa atau karyawan sukses; Sodorkan tema-tema yang unik, yang jarang atau belum pernah diangkat penulis lain; Cobalah untuk aktif menelpon redaksi dan berbicang dengannya untuk menanyakan nasib cerpenmu, atau minta pendapatnya tentang cerpen yang kamu kirimkan.

Buku ini layak dimiliki buat orang-orang yang ingin belajar menulis cerpen dengan hitungan jam, cepat dan tanpa harus masuk kursus dengan biaya melebihi harga buku ini. Apalagi di akhir buku ini diberi hadiah ‘pulpen’ keren, kumpulan cerpen keren. Ada jenis cerpen bertema romantis, jenis cerpen bertema komedi, jenis cerpen bertema misteri, jenis cerpen dengan alur maju, jenis cerpen dengan alur mundur dan jenis cerpen dengan tema yang sederhana. Ya, marilah belajar menjadi cerpenis yang sukses dengan panduan buku yang ditulis Raja Cerpen Remaja Indonesia yang sudah menulis lebih dari 1001 cerpen. Siapa lagi kalau bukan Donatus A. Nugroho! Selamat Belajar dan mengarang cerpen!

Jumat, 22 Juni 2007

Rajam dan Kecemasan Umat Kristen akan Syariat Islam

Judul buku :Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat (Penerapan Hukum Rajam di Indonesia dalam Tinjuan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global)
Pengarang : Adian Husaini, MA
Penerbit : Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Tahun terbit : 2001
Tebal buku : 208 halaman

Lagu lama. Itulah yang dapat dikatakan ketika membaca berita yang dimuat di harian Republika (17/5/2006) tentang protes salah seorang anggota DPR dari partai PDS (Partai Demokrat Sejahtera), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang bernuansa syariat Islam. Tuntutan tersebut tak lain akan berbuntut pada mempersoalkan pemberlakuan syariat Islam. Terlebih lagi, hampir finalnya pengesahan RUU anti Pornografi dan Pornoaksi yang sangat diharapkan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Ketakutan dan kecemasan kian akan menyelimuti kaum Kristen di Indonesia sejengkal demi sejengkal.

Kecemasan dan ketakukan mereka tersebut sebenarnya telah lama, dan bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang ‘makmum’ bangsa dengan tebal 208 halaman akan menyeguhkan bukti-bukti kecemasan mereka dengan dalil-dalil yang akurat. Buku tersebut cukup fantastis, karena akan membuat pembacanya ‘tercengang-cengang’ melihat kecemasan kaum Kristen dan penolakan oleh sebagian orang yang mengaku muslim namun menolak syariatnya. Buku itu bertorehkan judul Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat (Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global)

Bila dilihat dari sejarah buku, tulisan-tulisan di dalamnya, memang, lebih terfokus pada tanggapan Adian Husaini, MA sebagai penulis terhadap peristiwa penangkapan Ja’far Umar Thalib, dengan tuduhan melakukan tindakan anarkis terhadap pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim. Namun, bila dipahami maksud yang tersirat dari buku ini, isinya cenderung mengajak pembacanya untuk menilai seperti apa sebenarnya penegakan syariat Islam, di samping menyuguhkan bacaan yang membuktikan ketakutan kaum Kristen di Indonesia bila tegaknya syariat Islam di Indonesia.

Buku yang diselesaikan dengan tempo sepuluh hari ini terbagi menjadi empat Sub judul. Yaitu, Rajam digugat, Jihad dihambat; Wabah zina dalam budaya syahwat; Hukum rajam dalam tinjauan syariat Islam dan konteks Indonesia; Dan Syariat Islam versus imperialis Kristen Barat.

Dalam bagian Sub judul pertama, Adian Husaini memamparkan kronologis pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim dan penangkapan Ja’far Umar Thalib. Berdasarkan data-data yang di dapat, terbukti bahwa pelaksanaan rajam terhadap Abdurrahim bersumber dari dirinya sendiri, tanpa ada paksaan pihak lain. Karena merasa telah berdosa melakukan perbuatan zina, Abdurrahim datang menyerahkan dirinya dan meminta dijatuhi hukum rajam. Ia rela tubuhnya ditanam sebatas dada dan kemudian siap menerima lemparan batu ke kepalanya, sampai ajal menjemputnya. Seminggu setelah penerapan hukum rajam terhadap Abdurrahim, Ja’far Umar Thalib pun ditangkap polisi ketika transit di bandara Juanda, Surabaya, saat ia dan teman-temannya akan melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Makasar. Pengkapan Ja’far Umar Thalib terkesan tidak proporsional dan kurang beretika, karena surat penangkapannya bukan dalam bentuk teks asli, tapi dalam bentuk kertas kopian faks. Dan akhirnya penangkapan tersebut melahirkan aksi protes dari umat Islam bukan hanya dari daerah Maluku saja, namun dari seluruh daerah di Indonesia (hal. 3-9).

Selanjutnya, Pada Sub judul “Wabah Zina dalam Budaya Syahwat”, Adian Husaini mengupas penyebab begitu bebasnya sex di Indonesia. Menurutnya, penyebab bebasnya sex di Indonesia dikarenakan terlalu senangnya bangsa ini melestarikan KUHP warisan kolonia belanda, yang menyebutkan bahwa mereka yang telah terikat dengan perkawinan yang bisa disebut pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/isteri (pasal 284 KUHP). Jadi, tampak jelas bahwa orang Indonesia begitu ‘remehnya’ menilai praktek perzinaan. Kejahatan kelas ‘kakap’ dihadapan Allah ini dinilai sebagai persoalan ‘sepele’. (hal. 46)

Oleh karena itu, dalam buku ini, penulis tak bosan-bosan mengajak kaum Muslimin melaksanakan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena banyaknya redaksi hadits Rasulullah Saw. menceritakan akan datangnya azab Allah jika praktik-praktik kemungkaran dibiarkan merajalela dan kaum Muslimin tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu redaksi hadits Rasulullah Saw. tersebut, “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri (HR. Thabrani dan Hakim).

Kemudian, yang paling menarik dalam buku ini tentang permasalahan rajam adalah, siapa yang berwenang melaksanakan Rajam? Dan inilah inti permasalahan dalam kasus diadilinya Ja’far Umar Thalib. Selama ini, kita sering mendengar bahwa hukum rajam hanya boleh dilakukan oleh penguasa. Itu pun tidak boleh sembarang penguasa, harus penguasa muslim dan pemerintahan Islam. Adian Husaini telah menemukan dalam kitab al-Majmu’ al-Fataawa Jilid XXIV (kitab al-Huduud) karangan Ibnu Taimiyah, bahwa huduud harus tetap diberlakukan oleh kaum muslimin, dalam keadaan apapun. Baik saat kepemimpinan itu dipimpin oleh khalifah atau di saat umat Islam terpecah-pecah dalam berbagai negeri atau jamaah, dengan syarat memperhatikan juga faktor “mafsadat” yang mungkin muncul akibat penarapan hukum huduud tersebut, di saat pemerintah tidak menerapkan hukum tersebut. Sehingga, Adian Husaini berasumsi bahwa inilah dasar pelaksaan hukum rajam terhadap Abdurrahim yang dilakukan oleh kelompok Laskar Jihad. Dengan pendapat Ibnu Taimiyah tersebut, menurut Adian, bahwa kaum Muslimin seyogyanya memikirkan penerapan hukum Islam dalam tiga level: individual, komunal dan negara (state). Pada level komunal itulah –sesuai pendapat Ibnu Taimiyah—hukum huduud memungkinkan untuk diterapkan. Dengan catatan, bahwa faktor ‘mafsadat’ yang mungkin muncul akibat hukum huduud tersebut tetap menjadi perhatian. Jangan sampai penerapan huduud malah akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi kaum muslimin.

Bagaimana reaksi kaum Kristen jika syariat Islam diterapkan? Sub judul terakhir, yaitu “Syariat Islam Versus Imperialisme Kristen Barat”, mengupas “habis” segala kecemasan dan ketakutan umat Kristen bila syariat Islam dilaksanakan. Ternyata, ketakutan bila terealisasinya syariat Islam menjadi “bencana” besar bagi seluruh umat Kristen. Karena akan dapat mengancam dominasi barat. Salah satu contoh ketakutan Barat tersebut dapat dilihat dalam kasus Sudan. Ketika pemerintahan Sudan dibawah kekuasaan Ja’far Muhammad Nimeiri, syariat Islam merupakan landasan hukum negara. Sudan, ketika itu, tak henti-hentinya menjadi sorotan dan tindakan keras AS. Bantuan AS sebesar 114 juta dolar AS pun diputus dan bekerjasama dengan IMF dalam menekan Sudan agar melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi. (hal. 162-163). Sedangkan di Indonesia, ketakutan kaum Kristen bertolak dari Piagam Jakarta. Mereka dengan emosional dan membabi buta dalam melakukan penolakan, sehingga apa pun yang ‘berbau’ Piagam Jakarta selalu ditolak mentah-mentah. Itu bisa dilihat dalam kasus penolakan terhadap RUU Peradilan Agama (RUUPA) tahun 1989 dan juga RUU Pendidikan Nasional yang mewajibkan pendidikan agama bagi seluruh siswa oleh pihak kristen. (hal. 173-174)

Buku ini sangat penting untuk dibaca, karena akan mampu menghilangkan keraguan atau pemahaman kita yang salah tentang “mandulnya” penerapan syariat Islam bila diterapkan di Indonesia. Paling tidak, kita dapat mengetauhi refleksi kritis seorang ‘makmum’ bangsa terhadap hukum yang berlaku di negaranya.

Rahmat Hidayat Nasution

Rabu, 20 Juni 2007

Nurcholis Madjid: Kematiannya Pun Menjadi Persoalan

Judul buku : Nurcholis Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya
Penulis : Adian Husaini
Penyunting : Abdullah Ibnu Mutyas
Penerbit : Khairul Bayan Press, Jakarta
Tahun terbit : September, 2005
Tebal buku : 121 halaman

Adian Husaini kembali menampilkan sosoknya: sebagai intelektual muda muslim Indonesia dan sebagai penegak amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang pemikiran Islam. Dan, sosok itu kian jelas, kian kukuh dan makin kian menggugah. Ia bukan hanya ‘keras’ dalam pandangan-pandangannya, melainkan juga bersikap ‘sopan’ dalam mengkritik-kritik pemikiran-pemikiran yang ‘ngawur’ dari risalah yang dibawa Rasulullah Saw., dengan cara selalu menyokong argumentasinya dengan hujjah-hujjah yang diakui keotentikannya.

Setelah sukses mensyarahkan fatwa MUI tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme agama, dan Liberalisme lewat bukunya “Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial”. Kini, ia kembali meluncurkan kritikannya terhadap ‘posting’ bela sungkawa yang kurang tepat tentang kematian Nurcholis Madjid, seperti postingan bela sungakawa PKS di majalah Sabili.

Sosok Nurcholis Madjid bukanlah asing bagi Adian Husaini. Ia selalu mengkritik pemikiran Nucholis Majdid yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw., baik lisan (melalui forum diskusi) maupun tulisan-tulisan yang dipublikasikannya. Anehnya, semakin dikritik, kian menggema pula pemikirannya. Penulis memang orang yang tak mudah mundur dalam berjuang dan tetap terus maju. Buku terbarunya tersebut berjudul: Nurcholis Madjid; Kontroversi Kematian dan Pemikirannya.

Buku yang memeliki halaman yang berjumlah 121 ini, pada dasarnya, memiliki dua sasaran pokok. Pertama, mengabarkan kepada pembaca tentang adanya hal-hal ganjil yang terjadi ketika Nurcholis Madjid mengalami sakaratul maut dan sangat perlu diadakan analisis. Karena saat-saat seperti inilah seseorang akan diketauhi akankah mati dalam keadaan khusnul khotimah (akhir yang baik) atau suul khotimah (akhir yang buruk). Dalam kutipan berita Indopos, setelah mengadakan wawancara dengan Isteri Nurcholis, Omi Qomariya, ditemukan beberapa kejadian aneh yang terjadi pada Nurcholis Madjid. Kejadian pertama kali dialami Nurcholis Madjid ketika didatangi mukhtadiin, yaitu kiainya saat menjadi santri di pesantren Darussalam Gontor yang bernama Zarkasih, yang sudah lama meninggal. Selain itu, Nurholis Majdid juga melihat ada terowongan besar yang tidak ter-urus dan harus direnovasi, dan masih ada beberapa peristiwa lain yang dialami Nurcholis Madjid saat mengalami sakarat maut.

Yang menjadi titik inti analisis penulis terhadap berita tersebut adalah, kesaksian atau berita-berita yang disampaikan isterinya, perlu diklarifikasi berdasarkan ayat-ayat kesaksian, sebelum menjadikan sandaran dalam menyampaikan pendapat tentang vonis akhir atas ‘klimaks’ kematian Nurcholis Madjid. Artinya, penulis berupaya menyadarkan masyarakat untuk tidak terburu-buru dalam menvonis pendapat tertentu terhadap kematian Nurcholis Madjid, tapi cukuplah dengan mengatakan, “Semoga Allah memberikan balasan setimpal dengan amal perbuatannya”.

Sasaran kedua dari buku ini adalah, membongkar klaim-klaim a priori yang dilakukan para fans pemikirannya. Misalnya klaim yang dilakukan Komaruddin Hidayat dengan mengatakan, bahwa Nucholis Madjid adalah tipikal orang yang jika berbicara mengesankan tanpa emosi dan tanpa semangat menggurui, kaya dengan ilustrasi dan rujukan kepustakaan, dan kemampuannya mengartikulasikan gagasan yang jernih, baik dalam tulisan maupun pembicaraan. Klaim Komaruddin Hidayat ini, menurut penulis, sangat tidak bijak dan tidak mencerminkan seorang ilmuwan kritis. Karena begitu banyaknya argumen Nurcholis Madjid yang ternyata memiliki banyak kecacatan, misalnya saja tentang Ahlul kitab. Dalam buku “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”, Nurcholis Madjid mengutip pendapat Rasyid Ridha, bahwa Ahlul kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.

Ternyata Nurcholis Madjid keliru dalam memahami hadist (Sannuu ‘alaihim sunnata ahlil kitaab) yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya. Penulis melakukan ‘cek and ricek’ terhadap hadits tersebut, dan menemukan bahwa hadits tersebut bukanlah dilalah untuk menyatakan bahwa majusi termasuk Ahlul kitab. Tapi, hadits itu justru menjadi hujjah bahwa sekalipun di zaman Rasulullah Saw sudah ada majusi, tetapi dia tidak termasuk ke dalam golongan yang disebut ahlul kitab. Sebutan ahlul kitab hanya khusus untuk Yahudi dan Nasrani. (hal. 56-58).

Argumentasi-argumentasi yang dituangkan penulis sungguh akan membuat kita ‘tercengang’, karena sosok yang digelar sebagai ‘guru bangsa’, ternyata kurang lihai dalam menggunakan data-data untuk mengkuatkan argumennya.

Oleh karena itu, buku ini memang sangat penting untuk dibaca dan dimiliki, untuk mengetauhi seperti apa ‘belang’ Nurcholis Madjid saat hidup hingga menjelang ajalnya, sekaligus melihat ‘cermin’ kontroversi masyarakat tentang kematiannya. Jika pun pembaca nantinya akan, hampir, berpikiran bahwa penulis juga hampir mendekati Komaruddin Hidayat jika terlalu menonjolkan sikap ‘kejempolannya’ terhadap HM Rasjidi. Tapi, bisa jadi sikap penulis demikian hanya sebagai tandingan. Ataupun sebagai ‘kaca’ perbandingan untuk masyarakat tentang semangat HM Rasjidi dalam membendung ide sekularisasi, ternyata, tidak jauh berbeda dengan semangat Nurcholis Madjid dalam mengusung ide tersebut.

Rahmat Hidayat Nasution

Selasa, 19 Juni 2007

Merancang Belajar Menjadi Asyik

Judul : Belajar Itu Asyik, Lho!
Pengarang : Handa dan Ning
Penerbit : Khansa, Bandung, 2007
Tebal : Xii, 129 halaman

Sungguh, begitu banyak orang beranggapan bahwa belajar itu bikin badmood, boring atau malas. Padahal, tanpa disadari, sebenarnya belajar sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Asumsi yang menyatakan bahwa belajar selalu membuat kita boring hanyalah lagu lama. Kini, belajar bisa diformat menjadi kegiatan yang mencerahkan dan mengasyikkan. Sehingga, budaya cara belajar kebut semalam yang cukup melelahkan itu dapat kita kikis dan diganti dengan cara belajar orang-orang sukses yang mengakui bahwa belajar itu sungguh mengasyikkan. Caranya? Penulis buku ini, Handa dan Ning telah melakukan analisis dan akhirnya memberikan kesimpulan, bahwa semua itu tergantung pada niat dan langkah mengenal cara belajar yang dipola sendiri; mulai dari gaya belajar, waktu, bahkan trik-trik jitu supaya belajar asyik dan tetap efektif. Semua kegiatan belajar tersebut bisa dikondisikan dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Buku yang memiliki format 11,5 x 17,5 cm ini bukan hanya memberikan trik-trik jitu agar belajar jadi asyik, tapi juga memberikan ‘rangsangan-rangsangan’ yang dapat menghilangkan penilaian-penilaian negatif saat belajar. Bahkan, penulis buku ini menyatakan bahwa yang harus dimiliki setiap pelajar adalah selalu pikiran positif. Kegagalan yang pernah dialami bukanlah jadi problem. Tapi katakanlah, “bahwa aku bisa jadi sang juara”. Bukankah Thomas Alfa Edison berkali-kali mengalami kegagalan, bahkan selalu mendapatkan cemoohan agar ia berhenti melakukan percobaannya. Akan tetapi, ia tidak pernah menyerah dan patah semangat sedikit pun, sampai akhirnya bisa menemukan lampu pijar.

Belajar dari ‘keasyikan’ Thomas Alfa Edison dalam ‘belajar’ menemukan lampu pijar, sejatinya kita juga bisa memformat belajar itu jadi asyik. Karena kesuksesan Thomas Alfa Edison hanya disebabkan dua hal: niat dan berusaha menemukan cara ‘belajar’ sendiri yang mengasyikkan agar bisa menghasilkan lampu pijar. Karena itu, Penulis pun berkesimpulan bahwa jurus-jurus yang dapat membuat belajar jadi asyik dan tetap efektik ada enam. Pertama, Belajar setiap hari; Kedua, Tanyakan sampai jelas hal-hal yang belum dipahami kepada guru atau teman yang pintar; Ketiga, baca materi plus referensi pelajaran untuk besok; Keempat, buat daftar pertanyaan; Kelima, cari referensi sebanyak-banyaknya; dan Keenam, rajin berdiskusi dengan teman. Jadi, ‘belajar yang asyik’ menurut penulis buku ini adalah keteraturan kita dalam menata segala hal yang berhubungan belajar, dari mengatur waktu belajar hingga titik akhir pehamanan kita tentang materi yang ada. Karena dengan mengikat segala hal yang membuat asyik dalam belajar, tak pelak lagi keinginan untuk terus belajar dan membaca pun kian memiliki frekuensi yang cukup kuat.

Selain itu, Penulis buku ini pun tak ketinggalan memberikan tips-tips untuk senantiasa mendapatkan semangat belajar. Antara lain dengan membaca kisah-kisah tentang orang sukses dalam meraih apa yang diinginkannya dan memberikan arahan-arahan untuk selalu menemukan motivasi dalama belajar, misalnya membaca buku sirah nabawiyah.

Buku ini cocok untuk pelajar dan mahasiswa dalam usaha menemukan cara belajar yang asyik, sehingga bisa meraih nilai yang memuaskan atau menjadi bintang pelajar. Sebab, bukan hanya tips-tips belajar yang mengasyikkan saja yang ada dalam buku terbitan Khansa ini, belajar mengatur waktu, cara membaca efektif, dan bahkan langkah-langkah menjadi orang ‘besar’ juga diajarkan.



Ayo, Belajar Jadi Wartawan

Judul buku : Cara Gampang Jadi Wartawan
Penulis : AA Kunto A
Penerbit : Indonesia Cerdas, Yogyakarta
Tahun Terbit : Oktober, 2006
Tebal buku : 188 Halaman

Kalau kita simak, buku-buku yang menulis tentang jurnalistik, sebenarnya sudah banyak. Namun sayang, umumnya buku-buku itu berkisar tentang teori dan ragam jurnalistik saja. Sementara buku yang membahas soal wartawan dan trik-trik mendapatkan berita secara tersendiri, boleh kita bilang masih kurang. Maka dari itu, peluncuran buku yang berjudul Cara Gampang Jadi Wartawan, pantas kita sambut dengan baik. Apalagi dalam kenyataannya, kita masih kerap menjumpai penilaian masyarakat bahwa menjadi wartawan itu susah dan tidak mengasyikkan.

Buku yang berukuran 125 x 188 mm ini benar-benar akan membuat pembaca menyatakan bahwa jadi wartawan itu mudah. Karena menjadi wartawan tidak perlu menunggu sarjana atau bergelar tinggi. Bukan gelar yang jadi ukuran kemampuan seseorang untuk jadi wartawan profesional. Sekalipun baik berpendidikan tinggi, namun jauh lebih baik berwawasan luas dan berpengetauhan tinggi.
Di sisi lain, yang membuat buku ini begitu menarik dan berbeda dari buku jurnalistik yang sejenis adalah, pengarahan dan perhatian khusus AA Kunto A sebagai penulis terhadap kesulitan yang selama ini dialami wartawan, yaitu bagaimana mengamati peristiwa di lapangan dan mencari tahu informasi dari setiap peristiwa yang terjadi, sehingga bisa dijadikan data konkrit dalam meracik berita. Jadi, penekanan pada upaya pencapaian informasi yang efektivitas, objektivitas dan produktivitas – seperti yang banyak diungkap buku-buku lain – di sini terasa lebih kaya. Apalagi, dalam setiap peristiwa yang laik untuk diliput diberikan bimbingan pertanyaan-pertanyaan yang paling urgen untuk ‘digali’ dan dicari tahu oleh seorang wartawan. Bahkan, penulis juga memberikan trik-trik bagaimana menerobos narasumber yang sulit untuk dimintai keterangan. Misalnya dengan mencari tahu apa hobi atau penghargaan yang baru dicapai narasumber. Jadikan topik ini sebagai ‘pintu masuk’. Setelah akrab, baru mulai untuk menanyakan permasalahan inti yang ingin ditanyakan kepada narasumber. Jelas sekali, trik ini sangat membantu sekali buat wartawan pemula.

Terakhir sebelum menutup pembahasannya, AA Kunto A juga memberikan kiat peraktis untuk memuluskan jalan menjadi wartawan. Dari persiapaan apa saja yang perlu dimiliki dari jauh-jauh hari, hal-hal yang urgen untuk diisi dan disiapkan dalam curriculum vitae hingga trik-trik ampuh saat menghadapi interview yang diadakan di kantor redaksi. Intinya, penulis benar-benar memberikan bimbingan dan arahan untuk bisa lulus tes menjadi wartawan.

Jadi, buku ini tetap penting bukan hanya bagi mereka yang ingin berkiprah di dunia wartawan, atau para wartawan junior yang ingin jadi wartawan profesional, tetapi juga bagi mereka yang ingin tahu bagaimana cara dan langkah-langkah wartawan dalam mencari dan meracik berita sehingga memberikan informasi yang bermanfaat bagi khalayak.



Mengubah Hidup Menjadi Lebih Baik


Judul buku : Mengubah Takdir Mengubah Nasib
Pengarang : DR. Muhammad Ghazali
Penerbit : JABAL
Tahun Terbit : cet. IV, Agustus 2006
Tebal buku : 99 halaman

Sering kali kita mendengar pertanyaan-pertanyaan sumbang tentang hubungan antara kesuksesan dan nasib. Misalnya, apakah kesuksesan hanya dimiliki oleh mereka yang punya nasib baik sejak lahir? Benarkah nasib menjadi kaya atau miskin sudah ditetapkan sebelum lahir ke dunia, yaitu di Lauh Mahfuz? Apakah takdir jadi miskin atau kaya tidak bisa diformat melalui usaha manusia?

Masalah ini bukanlah masalah yang hanya dirasakan sebagian kecil manusia saja. Sungguh, kita semua terlibat langsung dalam masalah ini. Makanya, kita dituntut untuk memahami sejauh mana hubungan antara usaha manusia dengan takdir yang akan terjadi. Sehingga tidak gampang memberikan vonis terhadap nasib buruk yang terjadi pada diri kita dengan mengatakan, bahwa semuanya sudah ditetapkan Allah sebelum kita dijadikan khalifah di bumi.

Tulisan DR. Muhammad Ghazali ini adalah salah satu buku yang membicarakan tentang hubungan kesuksesan dan nasib manusia. Di dalamnya dibicarakan, mulai dari sifat-sifat manusia sukses, memahami hari-hari yang dimiliki, mengingatkan manusia bahwa hidup sukses dibentuk oleh pikirannya sendiri, mengatasi kecemasan-kecemasan yang sering menghinggapi kehidupan. Juga, perilaku-perilaku manusia yang harus dimiliki setelah sukses ikut juga menjadi pembahasan penulis. Misalnya, senantiasa mensyukuri apa yang telah diberikan Allah. Tidak pernah lupa bahwa di dalam harta yang dimiliki masih ada hak-hak orang lain yang harus diberikan. Usaha memang kita yang lakukan, tapi tanpa orang lain usaha kita juga tidak akan pernah sampai pada ‘titik’ akhir yang diinginkan.

Selain itu, bahasa yang digunakan penulis cukup sederhana dan jelas, khas aktivis organisasi yang telah berpengalaman puluhan tahun dalam berkomunikasi dan bertemu dengan berbagai orang dengan latar belakang yang beragam, menjadikan buku ini bukan saja mudah dipahami oleh para aktivis organisasi, tetapi juga untuk masyarakat awam yang ingin meraih kesuksesan. Sungguh tepat sekali apa yang ditulis dicover belakang buku, bahwa buku ini bukan untuk semua orang. Namun hanya untuk orang-orang yang belum puas dengan hidupnya saat ini. Buku ini hanya cocok untuk orang yang ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sekarang.

Jadi, buku ini benar-benar layak untuk dimiliki karena dapat memberikan support dan menghilangkan sikap fatalis dalam memahami hasil usaha manusia dan takdir. Karena usaha dan takdir senantiasa berjalan seiring. Jika ‘komponen’ usaha yang dilakukan sempurna, tak pelak lagi takdir yang terjadi akan sesuai dengan usaha tersebut. Karena apa yang tercatat di Lauh Mahfuz bukanlah waktu kapan sukses atau waktu kapan susah, tapi yang tertulis adalah ‘modusnya’. Karena Lauh Mahfuz adalah kitab yang berisi segala kemungkinan peristiwa yang terjadi di dunia, bukan peristiwa mutlaknya dan juga bukan panjang-pendeknya waktu kesuksesan atau waktu kesusahan. Bahkan buku ini sangat menggarisbawahi, bahwa tidak ada yang bisa mengubah hidup anda kecuali diri sendiri. Apabila benar-benar mau mengubah hidup menjadi lebih menyenangkan, maka pelajarilah arahan-arahan yang diberikan penulis. Buku ini telah mengubah banyak hidup orang. Sekarang, giliran kita untuk berubah sesuai yang didambakan.

(Artikel ini pernah dimuat di situs www.hidayatullah.com)

Senin, 18 Juni 2007

Mengejar Kesuksesan

 
Judul buku : Melesat; Mendahului Orang Lain Lewat Jalan Tol
Pengarang : Robbin
Penerbit : Kuadran, Surabaya
Cetakan : Februari 2007
Halaman : 96 halaman

Setelah bekerjasama dengan penerbit JABAL –penerbit yang mempublikasikan karya-karya para penulis dari Timur yang sifatnya motivator untuk menjadi orang sukses –, distributor BONE pustaka juga mengadakan kerjasama dengan penerbit Kuadran, yang juga menerbitkan buku-buku yang bertemakan kiat-kiat meraih kesuksesan, dalam memasarkan buku-buku. Tapi, yang menjadi dasar perbedaan kedua penerbit tersebut adalah para penulisnya. Penerbit JABAL menerbitkan buku-buku terjemahan dari para penulis muslim Timur, misalnya buku “Mengubah Takdir Mengubah Nasib”, karya DR. Muhammad Ghazali, sedangkan penerbit Kuadran menerbitkan buku-buku yang diterjemahkan dari para penulis Barat, karya Robbin yang berjudul “Melesat Mendahului Orang Lain Lewat Jalan Tol” misalnya.

Buku Robbin ini sungguh menarik, karena di samping memberikan motivasi yang cukup mendalam dalam meraih kesuksesan, juga disertai dengan kisah-kisah orang sukses yang tidak diduga akan bisa mencapai kesuksesan. Misalnya kisah Soichiro Honda dalam mendesain ‘ring piston’ untuk dijual dan diproduksi oleh ‘Toyota Corporation’. Usaha yang dilakukan Soichiro sungguh luar biasa. Berkali-kali mengalami kegagalan hingga membuat tangannya cacat, tapi itu tidak dijadikannya penghalang untuk mencapai target kesuksesan yang diharapkan. Setelah ‘jatuh-bangun’ dalam mendesain ‘ring-piston’, akhirnya ia berhasil juga dalam dua tahun. Namun itu juga tidak lama, karena terjadi perang dunia kedua sehingga membuat pabrik ‘ring-piston’ yang dibangunnya hancur dihantam bom-bom Amerika. Peristiwa tersebut tidak membuatnya putus asa, setelah pabriknya hancur dan negaranya, Jepang kekurangan bahan bakar. Soichiro Honda pun memiliki ide untuk memasang motor kecil di sepeda, dan ternyata ide tersebut mendapat simpati dan membuat masyarakat tertarik untuk memilikinya. Karena tidak ada modal untuk mendirikan pabrik motor, Suchiro pun mengajak para pemilik toko sepeda untuk bekerjasama. Akhirnya ia sukses kembali, dan bahkan mendapatkan penghargaan “Empero’s Award” dari pemerintah.

Jadi, dengan kesabaran dan terus melatih ide-ide untuk mencapai hasil yang dicapai adalah syarat mutlak untuk menggapai kesuksesan. Kegagalan bukan berarti penghalang dalam meraih kesuksesan. Sukses itu gampang, jika bisa mengenali langkah-langkahnya. Karena semua manusia punya ‘jatah’ kesuksesan. Bukankah setiap manusia itu memiliki ketrampilan? Dengan mengasah keterampilan terus menerus tak dipungkiri kesuksesan kian mudah dicapai.

Di samping buku ini menggunakan bahasa sederhana dan ringan, buku ini juga tak luput ‘menyelipkan’ rangsangan-rangsangan terhadap ‘otak kanan’ pembaca melalui gambar-gambar maupun kata-kata bijaksana. Sungguh, buku ini benar-benar membimbing pembaca menjadi orang sukses untuk mencapai apa yang diinginkan dan tidak lupa senantiasa mengarahkan kita untuk selalu bersyukur terhadap apa yang dicapai.

Buku ini memang mempunyai kekurangan, antara lain masalah editing dan tidak memiliki kata pengantar. Namun kekurangan tersebut, tidaklah menjadi penghalang dalam menyampaikan gagasan penulis yang brilian. Berbagai hal mengenai informasi mendapatkan kesuksesan dapat kita temukan di sini. Jadi, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Selamat membaca!

Rahmat Hidayat Nasution, mahasiswa universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Fakultas Syariah Islamiyah, Tingkat IV.