Selamat Datang

Selamat datang dan selamat menikmati hidangan otak Anda. Blog ini khusus dirancang untuk Anda yang siap melahap dan mencari gizi-gizi buku yang bermakna.

Kamis, 07 Januari 2010

Membaca "Rekaman" Pengerdilan KPK


Membaca “Rekaman” Pengerdilan KPK

Judul : Chandra-Bibit: Membongkar Perseteruan KPK, Polisi dan Kejaksaan
Penulis : Rohmat Haryadi
Penerbit : Hikmah, Jakarta
Cetakan : 1, Nopember 2009
Tebal : ix + 200 halaman

Kala Presiden SBY membentuk Satgas Pemberantas Mafia Peradilan 30 Desember 2009 lalu, adalah menarik bila publik kembali membaca ‘rekaman’ histori pengerdilan terhadap KPK. Pasalnya, Satgas yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto sedikit tidaknya mengambil alih tugas kepolisian dan kejaksaan. Meskipun Kepres yang mengatur perihal lingkup tugas Satgas sudah ada, yaitu hanya pada evaluasi, pengawasan dan pemantauan tetap saja dulunya tugas tersebut bagian dari kerja kepolisian. Karena terbentuknya Satgas Pemberantas Mafia Peradilan, sejatinya, secara tidak langsung menjatuhkan citra kepolisian. Peristiwa ini sama dengan kondisi pembentukan KPK yang dinilai mengambil tugas kepolisian dan kejaksaan.

Di antara buku yang mengupas ihwal pengkerdilan terhadap KPK adalah, buku “Chandra-Bibit: Membongkar Perseteruan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang ditulis oleh Rohmat Haryadi. Pada buku setebal 200 halaman ini, penulis membeberkan uraian drama perseteruan KPK dan Kepolisian atau yang dikenal dengan cikak dengan buaya melalui skandal kriminalisasi terhadap wakil ketua KPK Bibit S Rianto dan Chandra M. Hamzah, yang diyakini sebagai pengkerdilan terhadap KPK. Bagaimanapun, apa yang dilakukan Chandra dan Bibit di KPK tentu mengundang simpati dan antipati.

Sistematika penulisan pada buku ini sangat jelas dan mudah dipahami. Diawali dengan penahanan Chandra-Bibit yang mengguncang rasa keadilan publik, testimoni Antasari vs rekaman rekayasa hingga badai Anggodo Widjodo.

Dalam telaahnya, Rohmat memaparkan tuduhan rekayasa kriminal telah membangkitkan kecaman dan tekanan publik yang hebat, baik dari kalangan praktisi hingga gerakan facebookers, terhadap Mabes Polri dan Kejagung. Karena persoalannya, Mabes Polri belum dapat menjelaskan atau mengklarifikasi sampainya dana serta alibi keberadaan Bibit dan Chandra saat penyerahan uang. Hal ini, menurut rohmat, disebabkan Ari Muladi mengaku bahwa ia bukan rantai trakhir yang berhubungan dengan pihak KPK.

Rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat Kejagung dan Mabes Polri yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada 3 Nopember 2009 lalu juga dituliskan Rohmat dalam buku ini. Dengan membaca hasil ketikan rekaman itu terdapat titipan pesan, bahwa dugaan ‘mafia peradilan’ yang beroperasi di kedua lembaga penegak hukum itu.

Tak hanya itu, dalam buku ini, rohmat juga menampilkan gerak Presiden SBY untuk meredam gejolak publik yang sudah muak terhadap busuknya perilaku aparat penegak hukum dengan membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus kedua Pimpinan nonaktif, Bibit dan Chandra atau yang lebih populer dengan sebutan Tim-8. Setelah bertugas selama sepekan, Tim-8 menyampaikan rekomendasinya kepada Presiden SBY yang berisi: menangguhkan penahanan Chandra-Bibit, menonatifkan Susno Duadji, dan menahan Anggodo Wijdoyo.

Polisi memang telah mengabulkan penangguhan penahanan Chandra-Bibit. Namun, rekomendasi untuk menahan Anggodo Widjojo tidak dilakukan. Kapolri beralasan bahwa belum ada bukti untuk menahan Anggodo. Bahkan, Kapolri menjelaskan posisi Anggodo dalam perlindungan polisi sebagai saksi. Tentunya, hal ini membuat kesal Tim-8. Pasalnya, dalam kasus Bibit-Chandra, bisa dengan capat mencari-cari pasal untuk dikenakan, tetapi untuk kasus Anggodo seperti kebingungan.

Penulis yang juga wartawan Gatra menilai, benturan KPK dengan polri bermula ketika KPK menyelidiki penyimpangan kucuran dana talangan untuk Bank Century. Saat itu, KPK telah menemukan bukti awal penyimpangan pengucuran dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century. Pada kasus yang sama, Markas Besar Polri telah menangani kasus pelarian dana senilai Rp. 1,8 triliun milik Bank Century. Polisi telah menetapkan dua orang tersangka, yaitu pemilik Bank Century, Robert Tantular dan seorang nasabahnya bernama Budi Sampurno.

Dalam penangan kasus itu diduga ada penerimaan sejumlah dana oleh salah seorang pejabat kepolisian senilai Rp. 10 miliar. Pejabat yang dimaksud adalah Susno Duadji. KPK tidak menyadap nomor ponsel milik Susno Duajdi hanya saja nomor ponsel milik Susno masuk ke nomor ponsel yang sudah disadap KPK. Persoalan penyadapan inilah yang membuat hubungan KPK dan Polri runyam. Karena menjadi berita santer bahwa petinggi kepolisian yang berinisial SD meminta uang senilai Rp. 10 miliar terkait pencairan dana nasabah Bank Century dari keluarga Sampoerna.

Dari menyaksikan konflik yang terjadi antara KPK dengan Kepolisian hanya akan menyebabkan penegakan hukum letoi. Itu terbukti, sepanjang terjadinya konflik nyaris tidak ada prestasi besar yang ditunjukkan. Malah, meninggalkan PR besar di tahun 2010. Karena itu, sudah saatnya lembaga penegak hukum saling menghormati, menghentikan konflik, dan menyetop persaingan. Saatnya untuk bersinergi memerangi korupsi.

Untuk itu, saya merekomendasikan bahwa buku ini sangat layak dibaca oleh publik. Karena memberi pelajaran penting ihwal mengungkap liku-liku pemberantasan korupsi di negeri ini dan banyak membantu kita menyadari pentingnya arti penuntasan korupsi.

Rahmat Hidayat Nasution, Guru di MTs Muallimin UNIVA Medan dan Pengurus Lembaga Baca Tulis (eLBeTe) SUMUT