Penulis : Agus Mustofa
Penerbit : Padma Press, Surabaya
Tahun terbit : Agustus 2007
Tebal buku : 256 halaman
Resentator : H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc
Setelah bukunya yang berjudul “Ternyata Adam Dilahirkan” mendapat respon dari kalangan pembaca, kini Agus Mustofa kembali mengarang buku yang masih bertemakan Nabi Adam as. dengan judul “Adam Tak Diusir Dari Surga”. Dan dengan terbitnya buku ini, Agus Mustofa kian jelas, kian menggugah dan kian berani menampilkan sosoknya: sebagi hamba Allah yang ingin serius “berkonsentrasi” meraih cinta Rabb-nya dengan murni dan sebagai manusia yang ingin membuktikan bahwa ilmu tasawuf dapat dipadukan dengan sains. Ikhtiarnya itu pun, ternyata, membuahkan hasil pemikiran baru yang diberinya nama dengan “Tasawuf Modern atau Pendekatan Tasawuf dalam Kekinian”.
Buku yang dicetak bulan Agustus 2007 ini, dapat dikatakan sebagai tanggapan terhadap penilaian masyarakat yang acapkali mensinyalir bahwa buah khuldi menjadi biang keladi turunnya Adam dan Hawa dari surga. Padahal Allah, di dalam al-Qur’an, tidak menyebut buah khuldi secara eksplisit dan hanya menyebutkan pohon tersebut sepintas lalu, tanpa menyebutkan nama. Bahkan, yang menamakan buah khuldi (buah keabadian) sendiri justru muncul dari istilah Iblis ketika merayu Adam dan Hawa untuk memakannya. Itu pun tidak secara eksplisit menyebut buah, melainkan disebut dengan syajaratul khuldi alias ‘pohon keabadian’.
Selain itu, buku ini juga akan memaparkan beberapa masalah yang masih menjadi kontroversi ‘hangat’ tentang Adam as. dan turunnya dari surga. Di antaranya, ketidakbenaran Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam; kenapa Iblis dilibatkan untuk bersujud kepada Adam, padahal dia bukanlah dari golongan malaikat; Adam dan Hawa bukanlah tinggal di surga yang disediakan Allah bagi orang-orang yang beriman di akhirat kelak.
Penciptaan Hawa
Cerita penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam hanya ‘terungkap’ di dalam hadits Nabi Saw. Tapi, jika dicari sumber ayatnya di dalam al-Qur’an yang mengupas perihal diciptakan dari tulang rusuk Adam, mungkin, hanya mengarah kapada ayat-ayat yang bercerita tentang ‘diri yang satu’. Sedangkan penyebutan Hawa sebagai nama isteri Adam as. secara jelas, nyaris tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Menurut Agus Mustofa, pengarang buku ini, untuk menemukan apakah benar Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, haruslah diawali dengan pengumpulan dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an mengenai Adam dan isterinya, Hawa, secara kholistik.
Di dalam al-Qur’an, kata Agus Mustofa, Allah bercerita terlebih dahulu tentang Adam, para malaikat dan Iblis. Adapun Hawa, sebagai isteri Adam belum disebut-sebut. Bahkan sampai ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam pun, keberadaan Hawa belum disebut. Keberadaan Hawa baru mulai disinggung ketika Allah memerintahkan Adam tinggal di surga, yaitu setelah memperoleh pengakuan dari para malaikat dan setelah dibangkang oleh Iblis yang tidak mau bersujud kepada Adam. Karena itu, sangat dituntut untuk menganalisa dengan jeli tentang ayat-ayat yang bercerita tentang nafsuun wahidah (diri yang satu) dengan cerita tinggalnya Adam dan Hawa di dalam surga.
Ayat yang selalu digunakan sebagai klaim bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam as. adalah surat al-A’raaf: 189. Namun, menurut Agus Mustofa, ayat tersebut akan rancu jika dipahamkan sebagai penciptaan Hawa dari diri Adam as. ketika dilanjutkan dengan memahami ayat setelahnya. “Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan (Qs. Al A’raaf: 190). Hal ini akan menyebabkan lahirnya pertanyaan baru, benarkah suami isteri itu adalah Adam dan Hawa? Benarkah mereka berdoa untuk memperoleh keturunan yang sempurna, dan setelah dikabulkan mereka mempersekutukan Allah? Nyaris tak ada satu keterangan pun yang mensinyalir bahwa pasangan suami isteri yang menyekutukan Allah itu adalah Adam dan Hawa.
Sedangkan menurut sains, “diri yang satu” adalah stem sel, yang kemudian membelah dan membentuk proses penciptaan manusia di dalam rahim. Sehingga, Agus Mustofa menyimpulkan bahwa distorsi pemahaman tentang hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam itu agaknya terkait dengan asal-usul stem sel yang terpancar dari tulang sulbi. Tapi, tetaplah bahwa Hawa bukan diciptakan dari diri Adam alias dari tulang rusuk Adam. Lantas, bagaimana penciptaan Hawa dan siapa orang tuanya? Dalam buku ini, Agus Mustofa menguraikannya dengan jelas.(hal. 65-75)
Iblis Bukan Malaikat
Setelah Allah membuktikan kecerdasaan Adam dengan diberi ilmu pengetauhan dan mudah menguasainya, Allah kemudian memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada seorang khalifah (Qs. Al-Baqarah 34). Namun, ada kejadian menarik dalam peristiwa sujudnya para malaikat kepada Adam yaitu, pembangkangan Iblis. Ayat ini menimbulkan peristiwa terkesan agak ‘aneh’. Karena tidak ada perintah langsung dari Allah kepada Iblis untuk bersujud, tapi di dalam ayat-ayat selanjutnya selalu dikatakan bahwa Iblis tidak mau bersujud dan dinobatkan sebagai pembangkang. Apakah Iblis termasuk golongan malaikat? Menurut Agus Mustofa dalam buku ini, ayat-ayat ‘perintah dan pembangkangan’ tersebut memberikan makna tersirat bahwa Iblis memang bukan malaikat. Karena itu, ia tidak termasuk yang diperintahkan Allah secara langsung untuk bersujud. Ia hanya diperintahkan secara tidak langsung, sebagaimana mahluk lainnya. (hal 121-124)
Mengenal Surga Adam AS
Di dalam al-Qur’an, Allah menceritakan bahwa Adam dan Hawa tinggal di dalam surga. Setelah mereka terbujuk rayuan Iblis, baru mereka disuruh turun ke bumi. Menurut pendapat mayoritas, bahwa surga yang dulu dihuni oleh Adam as. dan isterinya adalah surga yang kelak akan dirasakan kembali oleh orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Namun Agus Mustofa berpendapat lain. Menurutnya, surga yang dihuni Adam as. bukanlah surga yang akan dinikmati orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Jannah (surga) Adam berbeda dengan jannah (surga) yang dijanjikan Allah untuk orang beriman. Di dalam buku ini, Agus Mustofa menjelaskan ada 4 hal yang membedakan jannah (surga) Adam as. dengan jannah (surga) yang dijanjikan Allah kepada para hambanya yang beriman:
1. Kata jannah tidak selamanya hanya memiliki arti surga. Jannah juga dapat diartikan sebagai taman. Karena Allah seringkali menggunakan kata jannah untuk menggambarkan situasi yang penuh kenikmatan, seperti dalam surat al-Qalam: 17, “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (orang kafir Mekah) sebagaimana kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasilnya) di pagi hari”. Karena itu, Agus Mustofa berpendapat bahwa pemakaian kata jannah sangat berkaitan dengan situasi wilayah Timur Tengah yang sangat panas, gersang dan sulit air. Sehingga kata ‘taman’ sangat mewakili.
2. Kata jannah yang digunakan untuk peristiwa nabi Adam di dalam al-Qur’an hanya dimaknai dengan ‘taman’ yang dilengkapi makanan yang serba berkecukupan untuk kebutuhan hidup. Sedangkan jannah akhirat digambarkan lebih komplek lagi. Misalnya, surga di akhirat nanti ada bidadari, sedangkan yang di jaman nabi Adam tidak ada. Surga di akhirat nanti digambarkan ada minuman dari sungai madu, susu, khamar dan kafur, sedangkan di jaman nabi adam itu tidak ada. Demikian juga halnya fasilitas yang dijanjikan Allah di surga akhirat berbeda dengan fasilitas yang dirasakan Adam as beserta isterinya.
3. Perbedaan itu juga tampak dari keberadaan Iblis. Di jaman Nabi Adam, setan bisa berkeliaran memasuki jannah. Dan kemudian menggoda Adam dan Hawa, akan tetapi, di akhirat kelak, setan dijamin tidak bisa masuk jannah, karena. tempat mereka adalah neraka.
4. Perbedaan terakhir, jannah di akhirat diberikan sebagai ‘balasan’ atas segala amalan manusia di dunia ini. Sedangkan jannah nabi Adam adalah ‘fasilitas’ kehidupan dalam taman indah berisikan makanan serba berkecukupan dan pakaian yang disediakan untuk kebutuhan hidup Adam dan Hawa. (hal.154-155)
Komentar
Setelah membaca buku ini, saya mengakui kecermelangan cara berfikir Agus Mustofa dalam mengungkap hal-hal yang cukup mesterius, atau bahkan mungkin hal yang tabu dan ‘jarang’ menjadi pikiran kita untuk dibahas. Tapi, tetap saja saya masih memiliki komentar terhadap buku ini. Pertama, Dimanakah jannah Adam saat ini? Apakah sudah fana? Karena hal ini akan semakin misterius ketika Agus Mustofa mensinyalir bahwa jannah Adam ada di bumi ini. Kedua, Mengapa Adam baru memiliki keturunan setelah ia dan isterinya ‘disuruh’ turun ke dunia? Bukankah kehidupan Adam dan Hawa di jannah memiliki waktu yang relatif cukup lama? Ketiga, Akan lebih maksimal jika Agus Mustofa memberikan sarana buat para pembaca, baik alamat email maupun berbentuk mailing list. Fungsinya, agar para pembaca yang memiliki beragam pertanyaan dapat menemukan jawaban dari penulis secara langsung, tanpa lama-lama ‘meraba’ untuk menemukan jawabannya. Sehingga buku seri Diskusi Tasawuf modern yang digagas Agus Mustofa ini semakin maksimal dan dapat dinikmati dengan baik.
Karena itu, saya merekomendasikan Anda untuk membaca buku ini, karena menurut saya buku ini sangat layak dibaca, tidak hanya untuk kalangan para intelektual muslim dan para ustadz tapi juga untuk masyarakat umum.
H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc, kontributor artikel resensi buku situs penulislepas.com dan sinaimesir.com
Penerbit : Padma Press, Surabaya
Tahun terbit : Agustus 2007
Tebal buku : 256 halaman
Resentator : H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc
Setelah bukunya yang berjudul “Ternyata Adam Dilahirkan” mendapat respon dari kalangan pembaca, kini Agus Mustofa kembali mengarang buku yang masih bertemakan Nabi Adam as. dengan judul “Adam Tak Diusir Dari Surga”. Dan dengan terbitnya buku ini, Agus Mustofa kian jelas, kian menggugah dan kian berani menampilkan sosoknya: sebagi hamba Allah yang ingin serius “berkonsentrasi” meraih cinta Rabb-nya dengan murni dan sebagai manusia yang ingin membuktikan bahwa ilmu tasawuf dapat dipadukan dengan sains. Ikhtiarnya itu pun, ternyata, membuahkan hasil pemikiran baru yang diberinya nama dengan “Tasawuf Modern atau Pendekatan Tasawuf dalam Kekinian”.
Buku yang dicetak bulan Agustus 2007 ini, dapat dikatakan sebagai tanggapan terhadap penilaian masyarakat yang acapkali mensinyalir bahwa buah khuldi menjadi biang keladi turunnya Adam dan Hawa dari surga. Padahal Allah, di dalam al-Qur’an, tidak menyebut buah khuldi secara eksplisit dan hanya menyebutkan pohon tersebut sepintas lalu, tanpa menyebutkan nama. Bahkan, yang menamakan buah khuldi (buah keabadian) sendiri justru muncul dari istilah Iblis ketika merayu Adam dan Hawa untuk memakannya. Itu pun tidak secara eksplisit menyebut buah, melainkan disebut dengan syajaratul khuldi alias ‘pohon keabadian’.
Selain itu, buku ini juga akan memaparkan beberapa masalah yang masih menjadi kontroversi ‘hangat’ tentang Adam as. dan turunnya dari surga. Di antaranya, ketidakbenaran Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam; kenapa Iblis dilibatkan untuk bersujud kepada Adam, padahal dia bukanlah dari golongan malaikat; Adam dan Hawa bukanlah tinggal di surga yang disediakan Allah bagi orang-orang yang beriman di akhirat kelak.
Penciptaan Hawa
Cerita penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam hanya ‘terungkap’ di dalam hadits Nabi Saw. Tapi, jika dicari sumber ayatnya di dalam al-Qur’an yang mengupas perihal diciptakan dari tulang rusuk Adam, mungkin, hanya mengarah kapada ayat-ayat yang bercerita tentang ‘diri yang satu’. Sedangkan penyebutan Hawa sebagai nama isteri Adam as. secara jelas, nyaris tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Menurut Agus Mustofa, pengarang buku ini, untuk menemukan apakah benar Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, haruslah diawali dengan pengumpulan dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an mengenai Adam dan isterinya, Hawa, secara kholistik.
Di dalam al-Qur’an, kata Agus Mustofa, Allah bercerita terlebih dahulu tentang Adam, para malaikat dan Iblis. Adapun Hawa, sebagai isteri Adam belum disebut-sebut. Bahkan sampai ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam pun, keberadaan Hawa belum disebut. Keberadaan Hawa baru mulai disinggung ketika Allah memerintahkan Adam tinggal di surga, yaitu setelah memperoleh pengakuan dari para malaikat dan setelah dibangkang oleh Iblis yang tidak mau bersujud kepada Adam. Karena itu, sangat dituntut untuk menganalisa dengan jeli tentang ayat-ayat yang bercerita tentang nafsuun wahidah (diri yang satu) dengan cerita tinggalnya Adam dan Hawa di dalam surga.
Ayat yang selalu digunakan sebagai klaim bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam as. adalah surat al-A’raaf: 189. Namun, menurut Agus Mustofa, ayat tersebut akan rancu jika dipahamkan sebagai penciptaan Hawa dari diri Adam as. ketika dilanjutkan dengan memahami ayat setelahnya. “Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan (Qs. Al A’raaf: 190). Hal ini akan menyebabkan lahirnya pertanyaan baru, benarkah suami isteri itu adalah Adam dan Hawa? Benarkah mereka berdoa untuk memperoleh keturunan yang sempurna, dan setelah dikabulkan mereka mempersekutukan Allah? Nyaris tak ada satu keterangan pun yang mensinyalir bahwa pasangan suami isteri yang menyekutukan Allah itu adalah Adam dan Hawa.
Sedangkan menurut sains, “diri yang satu” adalah stem sel, yang kemudian membelah dan membentuk proses penciptaan manusia di dalam rahim. Sehingga, Agus Mustofa menyimpulkan bahwa distorsi pemahaman tentang hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam itu agaknya terkait dengan asal-usul stem sel yang terpancar dari tulang sulbi. Tapi, tetaplah bahwa Hawa bukan diciptakan dari diri Adam alias dari tulang rusuk Adam. Lantas, bagaimana penciptaan Hawa dan siapa orang tuanya? Dalam buku ini, Agus Mustofa menguraikannya dengan jelas.(hal. 65-75)
Iblis Bukan Malaikat
Setelah Allah membuktikan kecerdasaan Adam dengan diberi ilmu pengetauhan dan mudah menguasainya, Allah kemudian memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada seorang khalifah (Qs. Al-Baqarah 34). Namun, ada kejadian menarik dalam peristiwa sujudnya para malaikat kepada Adam yaitu, pembangkangan Iblis. Ayat ini menimbulkan peristiwa terkesan agak ‘aneh’. Karena tidak ada perintah langsung dari Allah kepada Iblis untuk bersujud, tapi di dalam ayat-ayat selanjutnya selalu dikatakan bahwa Iblis tidak mau bersujud dan dinobatkan sebagai pembangkang. Apakah Iblis termasuk golongan malaikat? Menurut Agus Mustofa dalam buku ini, ayat-ayat ‘perintah dan pembangkangan’ tersebut memberikan makna tersirat bahwa Iblis memang bukan malaikat. Karena itu, ia tidak termasuk yang diperintahkan Allah secara langsung untuk bersujud. Ia hanya diperintahkan secara tidak langsung, sebagaimana mahluk lainnya. (hal 121-124)
Mengenal Surga Adam AS
Di dalam al-Qur’an, Allah menceritakan bahwa Adam dan Hawa tinggal di dalam surga. Setelah mereka terbujuk rayuan Iblis, baru mereka disuruh turun ke bumi. Menurut pendapat mayoritas, bahwa surga yang dulu dihuni oleh Adam as. dan isterinya adalah surga yang kelak akan dirasakan kembali oleh orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Namun Agus Mustofa berpendapat lain. Menurutnya, surga yang dihuni Adam as. bukanlah surga yang akan dinikmati orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Jannah (surga) Adam berbeda dengan jannah (surga) yang dijanjikan Allah untuk orang beriman. Di dalam buku ini, Agus Mustofa menjelaskan ada 4 hal yang membedakan jannah (surga) Adam as. dengan jannah (surga) yang dijanjikan Allah kepada para hambanya yang beriman:
1. Kata jannah tidak selamanya hanya memiliki arti surga. Jannah juga dapat diartikan sebagai taman. Karena Allah seringkali menggunakan kata jannah untuk menggambarkan situasi yang penuh kenikmatan, seperti dalam surat al-Qalam: 17, “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (orang kafir Mekah) sebagaimana kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasilnya) di pagi hari”. Karena itu, Agus Mustofa berpendapat bahwa pemakaian kata jannah sangat berkaitan dengan situasi wilayah Timur Tengah yang sangat panas, gersang dan sulit air. Sehingga kata ‘taman’ sangat mewakili.
2. Kata jannah yang digunakan untuk peristiwa nabi Adam di dalam al-Qur’an hanya dimaknai dengan ‘taman’ yang dilengkapi makanan yang serba berkecukupan untuk kebutuhan hidup. Sedangkan jannah akhirat digambarkan lebih komplek lagi. Misalnya, surga di akhirat nanti ada bidadari, sedangkan yang di jaman nabi Adam tidak ada. Surga di akhirat nanti digambarkan ada minuman dari sungai madu, susu, khamar dan kafur, sedangkan di jaman nabi adam itu tidak ada. Demikian juga halnya fasilitas yang dijanjikan Allah di surga akhirat berbeda dengan fasilitas yang dirasakan Adam as beserta isterinya.
3. Perbedaan itu juga tampak dari keberadaan Iblis. Di jaman Nabi Adam, setan bisa berkeliaran memasuki jannah. Dan kemudian menggoda Adam dan Hawa, akan tetapi, di akhirat kelak, setan dijamin tidak bisa masuk jannah, karena. tempat mereka adalah neraka.
4. Perbedaan terakhir, jannah di akhirat diberikan sebagai ‘balasan’ atas segala amalan manusia di dunia ini. Sedangkan jannah nabi Adam adalah ‘fasilitas’ kehidupan dalam taman indah berisikan makanan serba berkecukupan dan pakaian yang disediakan untuk kebutuhan hidup Adam dan Hawa. (hal.154-155)
Komentar
Setelah membaca buku ini, saya mengakui kecermelangan cara berfikir Agus Mustofa dalam mengungkap hal-hal yang cukup mesterius, atau bahkan mungkin hal yang tabu dan ‘jarang’ menjadi pikiran kita untuk dibahas. Tapi, tetap saja saya masih memiliki komentar terhadap buku ini. Pertama, Dimanakah jannah Adam saat ini? Apakah sudah fana? Karena hal ini akan semakin misterius ketika Agus Mustofa mensinyalir bahwa jannah Adam ada di bumi ini. Kedua, Mengapa Adam baru memiliki keturunan setelah ia dan isterinya ‘disuruh’ turun ke dunia? Bukankah kehidupan Adam dan Hawa di jannah memiliki waktu yang relatif cukup lama? Ketiga, Akan lebih maksimal jika Agus Mustofa memberikan sarana buat para pembaca, baik alamat email maupun berbentuk mailing list. Fungsinya, agar para pembaca yang memiliki beragam pertanyaan dapat menemukan jawaban dari penulis secara langsung, tanpa lama-lama ‘meraba’ untuk menemukan jawabannya. Sehingga buku seri Diskusi Tasawuf modern yang digagas Agus Mustofa ini semakin maksimal dan dapat dinikmati dengan baik.
Karena itu, saya merekomendasikan Anda untuk membaca buku ini, karena menurut saya buku ini sangat layak dibaca, tidak hanya untuk kalangan para intelektual muslim dan para ustadz tapi juga untuk masyarakat umum.
H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc, kontributor artikel resensi buku situs penulislepas.com dan sinaimesir.com