Judul buku : Nurcholis Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya
Penulis : Adian Husaini
Penyunting : Abdullah Ibnu Mutyas
Penerbit : Khairul Bayan Press, Jakarta
Tahun terbit : September, 2005
Tebal buku : 121 halaman
Adian Husaini kembali menampilkan sosoknya: sebagai intelektual muda muslim Indonesia dan sebagai penegak amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang pemikiran Islam. Dan, sosok itu kian jelas, kian kukuh dan makin kian menggugah. Ia bukan hanya ‘keras’ dalam pandangan-pandangannya, melainkan juga bersikap ‘sopan’ dalam mengkritik-kritik pemikiran-pemikiran yang ‘ngawur’ dari risalah yang dibawa Rasulullah Saw., dengan cara selalu menyokong argumentasinya dengan hujjah-hujjah yang diakui keotentikannya.
Setelah sukses mensyarahkan fatwa MUI tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme agama, dan Liberalisme lewat bukunya “Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial”. Kini, ia kembali meluncurkan kritikannya terhadap ‘posting’ bela sungkawa yang kurang tepat tentang kematian Nurcholis Madjid, seperti postingan bela sungakawa PKS di majalah Sabili.
Sosok Nurcholis Madjid bukanlah asing bagi Adian Husaini. Ia selalu mengkritik pemikiran Nucholis Majdid yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw., baik lisan (melalui forum diskusi) maupun tulisan-tulisan yang dipublikasikannya. Anehnya, semakin dikritik, kian menggema pula pemikirannya. Penulis memang orang yang tak mudah mundur dalam berjuang dan tetap terus maju. Buku terbarunya tersebut berjudul: Nurcholis Madjid; Kontroversi Kematian dan Pemikirannya.
Buku yang memeliki halaman yang berjumlah 121 ini, pada dasarnya, memiliki dua sasaran pokok. Pertama, mengabarkan kepada pembaca tentang adanya hal-hal ganjil yang terjadi ketika Nurcholis Madjid mengalami sakaratul maut dan sangat perlu diadakan analisis. Karena saat-saat seperti inilah seseorang akan diketauhi akankah mati dalam keadaan khusnul khotimah (akhir yang baik) atau suul khotimah (akhir yang buruk). Dalam kutipan berita Indopos, setelah mengadakan wawancara dengan Isteri Nurcholis, Omi Qomariya, ditemukan beberapa kejadian aneh yang terjadi pada Nurcholis Madjid. Kejadian pertama kali dialami Nurcholis Madjid ketika didatangi mukhtadiin, yaitu kiainya saat menjadi santri di pesantren Darussalam Gontor yang bernama Zarkasih, yang sudah lama meninggal. Selain itu, Nurholis Majdid juga melihat ada terowongan besar yang tidak ter-urus dan harus direnovasi, dan masih ada beberapa peristiwa lain yang dialami Nurcholis Madjid saat mengalami sakarat maut.
Yang menjadi titik inti analisis penulis terhadap berita tersebut adalah, kesaksian atau berita-berita yang disampaikan isterinya, perlu diklarifikasi berdasarkan ayat-ayat kesaksian, sebelum menjadikan sandaran dalam menyampaikan pendapat tentang vonis akhir atas ‘klimaks’ kematian Nurcholis Madjid. Artinya, penulis berupaya menyadarkan masyarakat untuk tidak terburu-buru dalam menvonis pendapat tertentu terhadap kematian Nurcholis Madjid, tapi cukuplah dengan mengatakan, “Semoga Allah memberikan balasan setimpal dengan amal perbuatannya”.
Sasaran kedua dari buku ini adalah, membongkar klaim-klaim a priori yang dilakukan para fans pemikirannya. Misalnya klaim yang dilakukan Komaruddin Hidayat dengan mengatakan, bahwa Nucholis Madjid adalah tipikal orang yang jika berbicara mengesankan tanpa emosi dan tanpa semangat menggurui, kaya dengan ilustrasi dan rujukan kepustakaan, dan kemampuannya mengartikulasikan gagasan yang jernih, baik dalam tulisan maupun pembicaraan. Klaim Komaruddin Hidayat ini, menurut penulis, sangat tidak bijak dan tidak mencerminkan seorang ilmuwan kritis. Karena begitu banyaknya argumen Nurcholis Madjid yang ternyata memiliki banyak kecacatan, misalnya saja tentang Ahlul kitab. Dalam buku “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”, Nurcholis Madjid mengutip pendapat Rasyid Ridha, bahwa Ahlul kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.
Ternyata Nurcholis Madjid keliru dalam memahami hadist (Sannuu ‘alaihim sunnata ahlil kitaab) yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya. Penulis melakukan ‘cek and ricek’ terhadap hadits tersebut, dan menemukan bahwa hadits tersebut bukanlah dilalah untuk menyatakan bahwa majusi termasuk Ahlul kitab. Tapi, hadits itu justru menjadi hujjah bahwa sekalipun di zaman Rasulullah Saw sudah ada majusi, tetapi dia tidak termasuk ke dalam golongan yang disebut ahlul kitab. Sebutan ahlul kitab hanya khusus untuk Yahudi dan Nasrani. (hal. 56-58).
Argumentasi-argumentasi yang dituangkan penulis sungguh akan membuat kita ‘tercengang’, karena sosok yang digelar sebagai ‘guru bangsa’, ternyata kurang lihai dalam menggunakan data-data untuk mengkuatkan argumennya.
Oleh karena itu, buku ini memang sangat penting untuk dibaca dan dimiliki, untuk mengetauhi seperti apa ‘belang’ Nurcholis Madjid saat hidup hingga menjelang ajalnya, sekaligus melihat ‘cermin’ kontroversi masyarakat tentang kematiannya. Jika pun pembaca nantinya akan, hampir, berpikiran bahwa penulis juga hampir mendekati Komaruddin Hidayat jika terlalu menonjolkan sikap ‘kejempolannya’ terhadap HM Rasjidi. Tapi, bisa jadi sikap penulis demikian hanya sebagai tandingan. Ataupun sebagai ‘kaca’ perbandingan untuk masyarakat tentang semangat HM Rasjidi dalam membendung ide sekularisasi, ternyata, tidak jauh berbeda dengan semangat Nurcholis Madjid dalam mengusung ide tersebut.
Rahmat Hidayat Nasution
Penulis : Adian Husaini
Penyunting : Abdullah Ibnu Mutyas
Penerbit : Khairul Bayan Press, Jakarta
Tahun terbit : September, 2005
Tebal buku : 121 halaman
Adian Husaini kembali menampilkan sosoknya: sebagai intelektual muda muslim Indonesia dan sebagai penegak amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang pemikiran Islam. Dan, sosok itu kian jelas, kian kukuh dan makin kian menggugah. Ia bukan hanya ‘keras’ dalam pandangan-pandangannya, melainkan juga bersikap ‘sopan’ dalam mengkritik-kritik pemikiran-pemikiran yang ‘ngawur’ dari risalah yang dibawa Rasulullah Saw., dengan cara selalu menyokong argumentasinya dengan hujjah-hujjah yang diakui keotentikannya.
Setelah sukses mensyarahkan fatwa MUI tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme agama, dan Liberalisme lewat bukunya “Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial”. Kini, ia kembali meluncurkan kritikannya terhadap ‘posting’ bela sungkawa yang kurang tepat tentang kematian Nurcholis Madjid, seperti postingan bela sungakawa PKS di majalah Sabili.
Sosok Nurcholis Madjid bukanlah asing bagi Adian Husaini. Ia selalu mengkritik pemikiran Nucholis Majdid yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw., baik lisan (melalui forum diskusi) maupun tulisan-tulisan yang dipublikasikannya. Anehnya, semakin dikritik, kian menggema pula pemikirannya. Penulis memang orang yang tak mudah mundur dalam berjuang dan tetap terus maju. Buku terbarunya tersebut berjudul: Nurcholis Madjid; Kontroversi Kematian dan Pemikirannya.
Buku yang memeliki halaman yang berjumlah 121 ini, pada dasarnya, memiliki dua sasaran pokok. Pertama, mengabarkan kepada pembaca tentang adanya hal-hal ganjil yang terjadi ketika Nurcholis Madjid mengalami sakaratul maut dan sangat perlu diadakan analisis. Karena saat-saat seperti inilah seseorang akan diketauhi akankah mati dalam keadaan khusnul khotimah (akhir yang baik) atau suul khotimah (akhir yang buruk). Dalam kutipan berita Indopos, setelah mengadakan wawancara dengan Isteri Nurcholis, Omi Qomariya, ditemukan beberapa kejadian aneh yang terjadi pada Nurcholis Madjid. Kejadian pertama kali dialami Nurcholis Madjid ketika didatangi mukhtadiin, yaitu kiainya saat menjadi santri di pesantren Darussalam Gontor yang bernama Zarkasih, yang sudah lama meninggal. Selain itu, Nurholis Majdid juga melihat ada terowongan besar yang tidak ter-urus dan harus direnovasi, dan masih ada beberapa peristiwa lain yang dialami Nurcholis Madjid saat mengalami sakarat maut.
Yang menjadi titik inti analisis penulis terhadap berita tersebut adalah, kesaksian atau berita-berita yang disampaikan isterinya, perlu diklarifikasi berdasarkan ayat-ayat kesaksian, sebelum menjadikan sandaran dalam menyampaikan pendapat tentang vonis akhir atas ‘klimaks’ kematian Nurcholis Madjid. Artinya, penulis berupaya menyadarkan masyarakat untuk tidak terburu-buru dalam menvonis pendapat tertentu terhadap kematian Nurcholis Madjid, tapi cukuplah dengan mengatakan, “Semoga Allah memberikan balasan setimpal dengan amal perbuatannya”.
Sasaran kedua dari buku ini adalah, membongkar klaim-klaim a priori yang dilakukan para fans pemikirannya. Misalnya klaim yang dilakukan Komaruddin Hidayat dengan mengatakan, bahwa Nucholis Madjid adalah tipikal orang yang jika berbicara mengesankan tanpa emosi dan tanpa semangat menggurui, kaya dengan ilustrasi dan rujukan kepustakaan, dan kemampuannya mengartikulasikan gagasan yang jernih, baik dalam tulisan maupun pembicaraan. Klaim Komaruddin Hidayat ini, menurut penulis, sangat tidak bijak dan tidak mencerminkan seorang ilmuwan kritis. Karena begitu banyaknya argumen Nurcholis Madjid yang ternyata memiliki banyak kecacatan, misalnya saja tentang Ahlul kitab. Dalam buku “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”, Nurcholis Madjid mengutip pendapat Rasyid Ridha, bahwa Ahlul kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.
Ternyata Nurcholis Madjid keliru dalam memahami hadist (Sannuu ‘alaihim sunnata ahlil kitaab) yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya. Penulis melakukan ‘cek and ricek’ terhadap hadits tersebut, dan menemukan bahwa hadits tersebut bukanlah dilalah untuk menyatakan bahwa majusi termasuk Ahlul kitab. Tapi, hadits itu justru menjadi hujjah bahwa sekalipun di zaman Rasulullah Saw sudah ada majusi, tetapi dia tidak termasuk ke dalam golongan yang disebut ahlul kitab. Sebutan ahlul kitab hanya khusus untuk Yahudi dan Nasrani. (hal. 56-58).
Argumentasi-argumentasi yang dituangkan penulis sungguh akan membuat kita ‘tercengang’, karena sosok yang digelar sebagai ‘guru bangsa’, ternyata kurang lihai dalam menggunakan data-data untuk mengkuatkan argumennya.
Oleh karena itu, buku ini memang sangat penting untuk dibaca dan dimiliki, untuk mengetauhi seperti apa ‘belang’ Nurcholis Madjid saat hidup hingga menjelang ajalnya, sekaligus melihat ‘cermin’ kontroversi masyarakat tentang kematiannya. Jika pun pembaca nantinya akan, hampir, berpikiran bahwa penulis juga hampir mendekati Komaruddin Hidayat jika terlalu menonjolkan sikap ‘kejempolannya’ terhadap HM Rasjidi. Tapi, bisa jadi sikap penulis demikian hanya sebagai tandingan. Ataupun sebagai ‘kaca’ perbandingan untuk masyarakat tentang semangat HM Rasjidi dalam membendung ide sekularisasi, ternyata, tidak jauh berbeda dengan semangat Nurcholis Madjid dalam mengusung ide tersebut.
Rahmat Hidayat Nasution
9 komentar:
lebih bijak lagi jika pemikiran nurcholish majid dikritik, ketika dia masih hidup. wahai orang yang mengaku bijak.
anonim lihat http://www.scribd.com/doc/5485375/TOKOH-JIL-NURCHOLIS-MADJID-Kontroversi-Perkawinan-putri-Cak-Nur
Yang dikritikpun ketika masih hidup ga mempan dikritik boss :D
mengkritik ketika sudah wafat tentu bukan sosok ideal dari sebuah nilai akademis, bukan untuk bermaksud mendukung cak nur. tapi, coba dteliti kebali, apakah adian husaini sering berkomunikasi dengan cara santun kepada cak nun ?
jika belum, tentu ini fitnah yang sangat kejam, ditambah lagi dengan tuduhan yang disampaikan kepada almarhum, naudhubillah tsumma naudhubillah.
seperti Fir'aun sampai hari ini msh dikritik karena dia tokoh yg mempunyai pengikut. jd bukan kritik tp contoh.
Apapu yg anda katakan NURCHALIS TERUS MEMBESAR, dunia sekarang sudah terbuka lebar termasuk ilmu agama untuk tersu dipelajari. Anda seharusnya berterima kasih dengan Nurcholis, terlepas anda setuju atau tidak dg pemikirannya - tapi yang pasti dia telah membuka kesadaran banyak orang tentang konsep2 Islam yg selama ini difahami secara turun menurun dari seorang kiyai ke kiyai yang itu itu saja dan merangsang orang untuk terus menggelorakan pemikiran2 Islam yang kontemporer sehingga Islam akan terus jaya dan besar.
Ini org lg jualan buku..
Jd maklum aja..
Yg diutarakan pun prolognya saja spy kita beli buku..
Tanpa ada argumentasi dan dasar yg kuat..
Dan semoga g jd fitnah..
Loh kok jadi bawa bawa kiai. Wkwkwkk
Mungkin yg mengkritik level blm nyampe yg dikritik
Posting Komentar