Judul buku :Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat (Penerapan Hukum Rajam di Indonesia dalam Tinjuan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global)
Pengarang : Adian Husaini, MA
Penerbit : Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Tahun terbit : 2001
Tebal buku : 208 halaman
Lagu lama. Itulah yang dapat dikatakan ketika membaca berita yang dimuat di harian Republika (17/5/2006) tentang protes salah seorang anggota DPR dari partai PDS (Partai Demokrat Sejahtera), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang bernuansa syariat Islam. Tuntutan tersebut tak lain akan berbuntut pada mempersoalkan pemberlakuan syariat Islam. Terlebih lagi, hampir finalnya pengesahan RUU anti Pornografi dan Pornoaksi yang sangat diharapkan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Ketakutan dan kecemasan kian akan menyelimuti kaum Kristen di Indonesia sejengkal demi sejengkal.
Kecemasan dan ketakukan mereka tersebut sebenarnya telah lama, dan bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang ‘makmum’ bangsa dengan tebal 208 halaman akan menyeguhkan bukti-bukti kecemasan mereka dengan dalil-dalil yang akurat. Buku tersebut cukup fantastis, karena akan membuat pembacanya ‘tercengang-cengang’ melihat kecemasan kaum Kristen dan penolakan oleh sebagian orang yang mengaku muslim namun menolak syariatnya. Buku itu bertorehkan judul Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat (Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global)
Bila dilihat dari sejarah buku, tulisan-tulisan di dalamnya, memang, lebih terfokus pada tanggapan Adian Husaini, MA sebagai penulis terhadap peristiwa penangkapan Ja’far Umar Thalib, dengan tuduhan melakukan tindakan anarkis terhadap pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim. Namun, bila dipahami maksud yang tersirat dari buku ini, isinya cenderung mengajak pembacanya untuk menilai seperti apa sebenarnya penegakan syariat Islam, di samping menyuguhkan bacaan yang membuktikan ketakutan kaum Kristen di Indonesia bila tegaknya syariat Islam di Indonesia.
Buku yang diselesaikan dengan tempo sepuluh hari ini terbagi menjadi empat Sub judul. Yaitu, Rajam digugat, Jihad dihambat; Wabah zina dalam budaya syahwat; Hukum rajam dalam tinjauan syariat Islam dan konteks Indonesia; Dan Syariat Islam versus imperialis Kristen Barat.
Dalam bagian Sub judul pertama, Adian Husaini memamparkan kronologis pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim dan penangkapan Ja’far Umar Thalib. Berdasarkan data-data yang di dapat, terbukti bahwa pelaksanaan rajam terhadap Abdurrahim bersumber dari dirinya sendiri, tanpa ada paksaan pihak lain. Karena merasa telah berdosa melakukan perbuatan zina, Abdurrahim datang menyerahkan dirinya dan meminta dijatuhi hukum rajam. Ia rela tubuhnya ditanam sebatas dada dan kemudian siap menerima lemparan batu ke kepalanya, sampai ajal menjemputnya. Seminggu setelah penerapan hukum rajam terhadap Abdurrahim, Ja’far Umar Thalib pun ditangkap polisi ketika transit di bandara Juanda, Surabaya, saat ia dan teman-temannya akan melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Makasar. Pengkapan Ja’far Umar Thalib terkesan tidak proporsional dan kurang beretika, karena surat penangkapannya bukan dalam bentuk teks asli, tapi dalam bentuk kertas kopian faks. Dan akhirnya penangkapan tersebut melahirkan aksi protes dari umat Islam bukan hanya dari daerah Maluku saja, namun dari seluruh daerah di Indonesia (hal. 3-9).
Selanjutnya, Pada Sub judul “Wabah Zina dalam Budaya Syahwat”, Adian Husaini mengupas penyebab begitu bebasnya sex di Indonesia. Menurutnya, penyebab bebasnya sex di Indonesia dikarenakan terlalu senangnya bangsa ini melestarikan KUHP warisan kolonia belanda, yang menyebutkan bahwa mereka yang telah terikat dengan perkawinan yang bisa disebut pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/isteri (pasal 284 KUHP). Jadi, tampak jelas bahwa orang Indonesia begitu ‘remehnya’ menilai praktek perzinaan. Kejahatan kelas ‘kakap’ dihadapan Allah ini dinilai sebagai persoalan ‘sepele’. (hal. 46)
Oleh karena itu, dalam buku ini, penulis tak bosan-bosan mengajak kaum Muslimin melaksanakan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena banyaknya redaksi hadits Rasulullah Saw. menceritakan akan datangnya azab Allah jika praktik-praktik kemungkaran dibiarkan merajalela dan kaum Muslimin tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu redaksi hadits Rasulullah Saw. tersebut, “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri (HR. Thabrani dan Hakim).
Kemudian, yang paling menarik dalam buku ini tentang permasalahan rajam adalah, siapa yang berwenang melaksanakan Rajam? Dan inilah inti permasalahan dalam kasus diadilinya Ja’far Umar Thalib. Selama ini, kita sering mendengar bahwa hukum rajam hanya boleh dilakukan oleh penguasa. Itu pun tidak boleh sembarang penguasa, harus penguasa muslim dan pemerintahan Islam. Adian Husaini telah menemukan dalam kitab al-Majmu’ al-Fataawa Jilid XXIV (kitab al-Huduud) karangan Ibnu Taimiyah, bahwa huduud harus tetap diberlakukan oleh kaum muslimin, dalam keadaan apapun. Baik saat kepemimpinan itu dipimpin oleh khalifah atau di saat umat Islam terpecah-pecah dalam berbagai negeri atau jamaah, dengan syarat memperhatikan juga faktor “mafsadat” yang mungkin muncul akibat penarapan hukum huduud tersebut, di saat pemerintah tidak menerapkan hukum tersebut. Sehingga, Adian Husaini berasumsi bahwa inilah dasar pelaksaan hukum rajam terhadap Abdurrahim yang dilakukan oleh kelompok Laskar Jihad. Dengan pendapat Ibnu Taimiyah tersebut, menurut Adian, bahwa kaum Muslimin seyogyanya memikirkan penerapan hukum Islam dalam tiga level: individual, komunal dan negara (state). Pada level komunal itulah –sesuai pendapat Ibnu Taimiyah—hukum huduud memungkinkan untuk diterapkan. Dengan catatan, bahwa faktor ‘mafsadat’ yang mungkin muncul akibat hukum huduud tersebut tetap menjadi perhatian. Jangan sampai penerapan huduud malah akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi kaum muslimin.
Bagaimana reaksi kaum Kristen jika syariat Islam diterapkan? Sub judul terakhir, yaitu “Syariat Islam Versus Imperialisme Kristen Barat”, mengupas “habis” segala kecemasan dan ketakutan umat Kristen bila syariat Islam dilaksanakan. Ternyata, ketakutan bila terealisasinya syariat Islam menjadi “bencana” besar bagi seluruh umat Kristen. Karena akan dapat mengancam dominasi barat. Salah satu contoh ketakutan Barat tersebut dapat dilihat dalam kasus Sudan. Ketika pemerintahan Sudan dibawah kekuasaan Ja’far Muhammad Nimeiri, syariat Islam merupakan landasan hukum negara. Sudan, ketika itu, tak henti-hentinya menjadi sorotan dan tindakan keras AS. Bantuan AS sebesar 114 juta dolar AS pun diputus dan bekerjasama dengan IMF dalam menekan Sudan agar melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi. (hal. 162-163). Sedangkan di Indonesia, ketakutan kaum Kristen bertolak dari Piagam Jakarta. Mereka dengan emosional dan membabi buta dalam melakukan penolakan, sehingga apa pun yang ‘berbau’ Piagam Jakarta selalu ditolak mentah-mentah. Itu bisa dilihat dalam kasus penolakan terhadap RUU Peradilan Agama (RUUPA) tahun 1989 dan juga RUU Pendidikan Nasional yang mewajibkan pendidikan agama bagi seluruh siswa oleh pihak kristen. (hal. 173-174)
Buku ini sangat penting untuk dibaca, karena akan mampu menghilangkan keraguan atau pemahaman kita yang salah tentang “mandulnya” penerapan syariat Islam bila diterapkan di Indonesia. Paling tidak, kita dapat mengetauhi refleksi kritis seorang ‘makmum’ bangsa terhadap hukum yang berlaku di negaranya.
Rahmat Hidayat Nasution
Pengarang : Adian Husaini, MA
Penerbit : Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Tahun terbit : 2001
Tebal buku : 208 halaman
Lagu lama. Itulah yang dapat dikatakan ketika membaca berita yang dimuat di harian Republika (17/5/2006) tentang protes salah seorang anggota DPR dari partai PDS (Partai Demokrat Sejahtera), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang bernuansa syariat Islam. Tuntutan tersebut tak lain akan berbuntut pada mempersoalkan pemberlakuan syariat Islam. Terlebih lagi, hampir finalnya pengesahan RUU anti Pornografi dan Pornoaksi yang sangat diharapkan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Ketakutan dan kecemasan kian akan menyelimuti kaum Kristen di Indonesia sejengkal demi sejengkal.
Kecemasan dan ketakukan mereka tersebut sebenarnya telah lama, dan bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang ‘makmum’ bangsa dengan tebal 208 halaman akan menyeguhkan bukti-bukti kecemasan mereka dengan dalil-dalil yang akurat. Buku tersebut cukup fantastis, karena akan membuat pembacanya ‘tercengang-cengang’ melihat kecemasan kaum Kristen dan penolakan oleh sebagian orang yang mengaku muslim namun menolak syariatnya. Buku itu bertorehkan judul Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat (Penerapan Hukum Rajam di Indonesia Dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global)
Bila dilihat dari sejarah buku, tulisan-tulisan di dalamnya, memang, lebih terfokus pada tanggapan Adian Husaini, MA sebagai penulis terhadap peristiwa penangkapan Ja’far Umar Thalib, dengan tuduhan melakukan tindakan anarkis terhadap pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim. Namun, bila dipahami maksud yang tersirat dari buku ini, isinya cenderung mengajak pembacanya untuk menilai seperti apa sebenarnya penegakan syariat Islam, di samping menyuguhkan bacaan yang membuktikan ketakutan kaum Kristen di Indonesia bila tegaknya syariat Islam di Indonesia.
Buku yang diselesaikan dengan tempo sepuluh hari ini terbagi menjadi empat Sub judul. Yaitu, Rajam digugat, Jihad dihambat; Wabah zina dalam budaya syahwat; Hukum rajam dalam tinjauan syariat Islam dan konteks Indonesia; Dan Syariat Islam versus imperialis Kristen Barat.
Dalam bagian Sub judul pertama, Adian Husaini memamparkan kronologis pelaksanaan hukum rajam terhadap Abdurrahim dan penangkapan Ja’far Umar Thalib. Berdasarkan data-data yang di dapat, terbukti bahwa pelaksanaan rajam terhadap Abdurrahim bersumber dari dirinya sendiri, tanpa ada paksaan pihak lain. Karena merasa telah berdosa melakukan perbuatan zina, Abdurrahim datang menyerahkan dirinya dan meminta dijatuhi hukum rajam. Ia rela tubuhnya ditanam sebatas dada dan kemudian siap menerima lemparan batu ke kepalanya, sampai ajal menjemputnya. Seminggu setelah penerapan hukum rajam terhadap Abdurrahim, Ja’far Umar Thalib pun ditangkap polisi ketika transit di bandara Juanda, Surabaya, saat ia dan teman-temannya akan melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Makasar. Pengkapan Ja’far Umar Thalib terkesan tidak proporsional dan kurang beretika, karena surat penangkapannya bukan dalam bentuk teks asli, tapi dalam bentuk kertas kopian faks. Dan akhirnya penangkapan tersebut melahirkan aksi protes dari umat Islam bukan hanya dari daerah Maluku saja, namun dari seluruh daerah di Indonesia (hal. 3-9).
Selanjutnya, Pada Sub judul “Wabah Zina dalam Budaya Syahwat”, Adian Husaini mengupas penyebab begitu bebasnya sex di Indonesia. Menurutnya, penyebab bebasnya sex di Indonesia dikarenakan terlalu senangnya bangsa ini melestarikan KUHP warisan kolonia belanda, yang menyebutkan bahwa mereka yang telah terikat dengan perkawinan yang bisa disebut pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/isteri (pasal 284 KUHP). Jadi, tampak jelas bahwa orang Indonesia begitu ‘remehnya’ menilai praktek perzinaan. Kejahatan kelas ‘kakap’ dihadapan Allah ini dinilai sebagai persoalan ‘sepele’. (hal. 46)
Oleh karena itu, dalam buku ini, penulis tak bosan-bosan mengajak kaum Muslimin melaksanakan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena banyaknya redaksi hadits Rasulullah Saw. menceritakan akan datangnya azab Allah jika praktik-praktik kemungkaran dibiarkan merajalela dan kaum Muslimin tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu redaksi hadits Rasulullah Saw. tersebut, “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri (HR. Thabrani dan Hakim).
Kemudian, yang paling menarik dalam buku ini tentang permasalahan rajam adalah, siapa yang berwenang melaksanakan Rajam? Dan inilah inti permasalahan dalam kasus diadilinya Ja’far Umar Thalib. Selama ini, kita sering mendengar bahwa hukum rajam hanya boleh dilakukan oleh penguasa. Itu pun tidak boleh sembarang penguasa, harus penguasa muslim dan pemerintahan Islam. Adian Husaini telah menemukan dalam kitab al-Majmu’ al-Fataawa Jilid XXIV (kitab al-Huduud) karangan Ibnu Taimiyah, bahwa huduud harus tetap diberlakukan oleh kaum muslimin, dalam keadaan apapun. Baik saat kepemimpinan itu dipimpin oleh khalifah atau di saat umat Islam terpecah-pecah dalam berbagai negeri atau jamaah, dengan syarat memperhatikan juga faktor “mafsadat” yang mungkin muncul akibat penarapan hukum huduud tersebut, di saat pemerintah tidak menerapkan hukum tersebut. Sehingga, Adian Husaini berasumsi bahwa inilah dasar pelaksaan hukum rajam terhadap Abdurrahim yang dilakukan oleh kelompok Laskar Jihad. Dengan pendapat Ibnu Taimiyah tersebut, menurut Adian, bahwa kaum Muslimin seyogyanya memikirkan penerapan hukum Islam dalam tiga level: individual, komunal dan negara (state). Pada level komunal itulah –sesuai pendapat Ibnu Taimiyah—hukum huduud memungkinkan untuk diterapkan. Dengan catatan, bahwa faktor ‘mafsadat’ yang mungkin muncul akibat hukum huduud tersebut tetap menjadi perhatian. Jangan sampai penerapan huduud malah akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi kaum muslimin.
Bagaimana reaksi kaum Kristen jika syariat Islam diterapkan? Sub judul terakhir, yaitu “Syariat Islam Versus Imperialisme Kristen Barat”, mengupas “habis” segala kecemasan dan ketakutan umat Kristen bila syariat Islam dilaksanakan. Ternyata, ketakutan bila terealisasinya syariat Islam menjadi “bencana” besar bagi seluruh umat Kristen. Karena akan dapat mengancam dominasi barat. Salah satu contoh ketakutan Barat tersebut dapat dilihat dalam kasus Sudan. Ketika pemerintahan Sudan dibawah kekuasaan Ja’far Muhammad Nimeiri, syariat Islam merupakan landasan hukum negara. Sudan, ketika itu, tak henti-hentinya menjadi sorotan dan tindakan keras AS. Bantuan AS sebesar 114 juta dolar AS pun diputus dan bekerjasama dengan IMF dalam menekan Sudan agar melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi. (hal. 162-163). Sedangkan di Indonesia, ketakutan kaum Kristen bertolak dari Piagam Jakarta. Mereka dengan emosional dan membabi buta dalam melakukan penolakan, sehingga apa pun yang ‘berbau’ Piagam Jakarta selalu ditolak mentah-mentah. Itu bisa dilihat dalam kasus penolakan terhadap RUU Peradilan Agama (RUUPA) tahun 1989 dan juga RUU Pendidikan Nasional yang mewajibkan pendidikan agama bagi seluruh siswa oleh pihak kristen. (hal. 173-174)
Buku ini sangat penting untuk dibaca, karena akan mampu menghilangkan keraguan atau pemahaman kita yang salah tentang “mandulnya” penerapan syariat Islam bila diterapkan di Indonesia. Paling tidak, kita dapat mengetauhi refleksi kritis seorang ‘makmum’ bangsa terhadap hukum yang berlaku di negaranya.
Rahmat Hidayat Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar